Biografi Wayang Suket Slamet Gundono Lengkap

Seniman terkenal Indonesia ki Wayang Suket sebagai nama panggung dari Slamet Gundono telah pulang secara jasadi, namun bukan berarti investasi seni milik Indonesia tersebut ikut terkebumi karena karya-karya yang telah menginspirasi masyarakat dan juga bangsa Indonesia.

Meninggalnya beliau membuat para seniman terutama wayang dan teater juga merasa kehilangan betapa pentingnya Wayang suket yang bisa memecah keheningan teater yang pakem tersebut. Dengan pikirannya yang kreatif ia turut berkontribusi dalam bidang seni Indonesia selama ini.

WAYANG SUKET, tak bisa dipisahkan dengan SLAMET GUNDONO, begitu pula sebaliknya. Suket (rumput) dipilih Gundono sebagai simbol kesederhanaan, sesuatu yang ingin disampaikan dalam karya-karyanya. Baca juga tentang Puisi.
Wayang Suket pertama kali digelar di Riau, dengan lakon Kelingan Lamun Kelangan (Ingat Kalau Kehilangan), 1997. Gundono menjadikan dirinya sebagai pusat pentas. Kadang dia bertindak sebagai aktor yang memerankan tokoh wayang, atau jadi pesinden yang menyanyi, atau jadi pemusik dengan kentrung di tangannya.

Dalang-Suket-slamet-gundono

Inilah Karya-Karya Slamet Gundono Wayang Suket

  1. Wayang Lindur, lakon Celengan Bisma, Uma, Nyai Sendon Kloloran (Sudamala),
  2. Wayang Kondo-M, lakon Minggatnya Cebolang (2009)
  3. Wayang Guyub Ndesa, lakon Gatotkaca (Embun Kang Tinatah), Wayang Api (2006)
  4. Wayang Air. Banyu, Isun Takon Apa Sira Punya Ibu? (2003)
  5. Wayang Suket. Mementaskan lakon Kelingan Lamun Kelangan (Karno Putra
    Dewa Matahari, Sukesi atau Rahwana Lahir, Limbuk Ingin Merdeka, Bibir Merah Banowati)  (1999).
  6. Togog Mbilung Bedah Tumpeng Duryudan, Saurti Kanthi, Limbuk Surti Kanthi, Gugur Gugur Gugur,Tali Rasa Rasa Tali (1998)

Biografi Lengkap Dalang Suket Slamet Gundono

slamet-gundono-dalang-suketSLAMET GUNDONO lahir di Tegal, 19 Juni 1966, dengan nama Gundono. Nama Slamet di depan namanya adalah pemberian guru SD-nya. Rasa hormat kepada Sang Guru, bikin Gundono lebih memilih mengubah akta kelahirannya.
Ayah kandungnya, Ki Suwati, juga dalang. Ibunya bernama Sumarti. Sang Ayah meninggal saat Gundono masih kecil. Dan dia sangat bangga, karena nama ayahnya sangat harum. Jadi buah bibir di Tegal dan sekitarnya, baik sebagai dalang maupun sebagai tokoh. Sang Ayah amat dermawan. Anak angkatnya, sekitar 50. Bila orang ingin menanggap wayangnya, namun tak mampu membayar, dia malah menggratiskan. Bahkan membantu keuangan Si Penanggap yang kekurangan.
Setelah ditinggal ayah, Gundono dibesarkan oleh sosok yang sangat dihormatinya dan dia sebut ayah psikologis, bernama Saleh, dan ibu bernama Sukarwi. Gundono menamatkan pendidikan dasarnya di SD Negeri Dukuh Salam, Slawi, Tegal. Lalu melanjutkan ke SMPN 1 Slawi. Setelah itu masuk Madrasah Aliyah Negeri Babakan, Lebak Siu, Tegal. Dia mondok di pesantren hingga lulus.
Gundono sudah akrab dengan seni tradisi sejak kecil. Sebab dia memang dibesarkan di kampung seniman, di lingkungan orang-orang yang mencintai seni tradisi. Di desanya, pertunjukan sintren lebih dihargai ketimbang pentas musik dangdut. Pada sisi lain, dia juga hidup di lingkungan keluarga yang menjaga tradisi agama dengan kuat. Sejak kecil Gundono sudah biasa tidur di langgar. Meski begitu, jiwa seninya memanggil-manggil. Maka sesekali Gundono kecil mencuri waktu menonton pertunjukan wayang kulit. 
Setelah lulus Aliyah, Gundono masuk Institut Kesenian Jakarta, Jurusan Teater. Namun  jiwa dalangnya memanggil-manggil. Maka Gundono pindah ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia, sekarang Institut Seni Indonesia Solo, Jurusan Pedalangan. Di institusi ini gelar akademiknya sebagai sarjana seni dia peroleh pada 1999.
Gundono tidak mau begitu saja mengikuti jejak dalang-dalang mainstream yang pada waktu itu berkutat pada pakem. Dia beranggapan, seni tradisi bukan sesuatu yang statis atau berhenti pada puncaknya, kemudian terputus. Seni terus berkembang. Maka, Gundono bikin geger jagat pedalangan di Festival Greget Dalang, 1995, Solo. Dalam repertoar yang dibawakannya, Gundono sengaja membikin 5 Pandawa gugur. Penonton pun berteriak-teriak memprotes kelakuan dalang yang dianggap mengacaukan cerita, dan minta Pandawa dihidupkan. Padahal, semua itu dia lakukan hanya untuk mengukur seberapa jauh mitos Pandawa sebagai pahlawan. Dan ternyata mitos itu begitu kuat menancap.
Di Solo, didepan rumahnya terdapat tanah seluas 100 meter persegi, dengan bangunan berbentuk limasan yang diberi label Sanggar Suket. Di sinilah Gundono dan Komunitas Suket melakukan berbagai proses kreativitas dan sajak.

Gundono telah melahirkan karya-karya spektakuler. Selain Wayang Suket, dia juga menetaskan konsep Wayang Nggremeng, Wayang Lindur, Wayang Air, Wayang Multimedia, Wayang Kondo-M dan Wayang Api. Masing-masing konsep pertunjukan wayang ini sudah mengangkat sejumlah repertoar yang digelar di berbagai panggung dan kantong seni dalam dan luar negeri. Dan dia memberontaki pakem dengan cinta.
Pada 2009, Gundono yang mahir bermusik dan memiliki karakter vokal khas, melahirkan album Rock Religius yang bertajuk Tuhan Maha Dalang, 2003, dan diproduksi Mizan Musiqa. Pada 2005, Slamet Gundono menerima penghargaan Prince Claus Awards dari pemerintah Kerajaan Belanda.

Selamat jalan Slamet Gundono dan terus terbang tinggi karyamu untuk selalu di ingat masyarakat Indonesia dan seniman dimanapun berada dalam kesusastraan negeri ini.

Source: http://www.kelola.or.id

0 Comments