Pandangan pertama dikemukakan oleh kaum “positivisme-empiris”, yang melihat bahasa sebagai jambatan antara manusia dengan objek di luar diri...
Pandangan pertama dikemukakan oleh kaum “positivisme-empiris”, yang melihat bahasa sebagai jambatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman manusia dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logik, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri daripada pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realiti. Orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atas pernyataannya dan yang penting adalah apakah pernyataan itu benar menurut kaedah sintaksis dan semantik. Wacana dikenalpasti dengan pilihan-pilhan: kebenaran atau ketidak benaran menurut kaedah sintaksis dan semantik.
Pandangan kedua, dikemukakan oleh penganut “konstruktivisme” yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Paham ini menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Pandangan konstruktivisme justeru menganggap subjek sebagai faktor utama dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Analisis wacana di sini adalah untuk menyingkap sesuatu yang tersembunyi di balik pernyataan subjek yang mengasaskan pernyataan itu. Dengan perkataan lain, setiap pernyataan pada dasarnya adalah penciptaan makna iaitu tindakan penubuhan diri atau pengungkapan jati diri daripada sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut sebagai “pandangan kritis”. Paham ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivis yang kurang sensitif kepada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Pandangan konstruktivis belum memiliki keupayaan guna menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana. Hal inilah yang melahirkan pandangan paradigma kritikal. Analisis wacana kritikal menekankan kepada konstelasi kekuatan yang berlaku dalam proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa bukanlah sebagai medium yang neutral yang berada di luar diri si pembicara. Dengan pandangan semacam itu, wacana kritikal melihat bahasa selalu terbabit dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam penubuhan subjek, tindakan, dan representasi tindakan sosial dalam masyarakat.
Mengikut Fairclough dan Wodak (1997), analisis wacana kritikal melihat wacana –pemakaian bahasa sama ada dalam percakapan atau tulisan—merupakan bentuk daripada praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial sentiasa memiliki implikasi hubungan dialektikal di antara peristiwa diskursif dengan suatu situasi, institusi, dan struktur sosial. Mengutip kembali Fairclogh dan Wodak, bahawa analisis wacana kritikal menyelidiki bagaimana melalui bahasa memperlihatkan sebuah fenomena kelompok sosial saling bertembung dan mengajukan versinya masing-masing.
Pandangan kedua, dikemukakan oleh penganut “konstruktivisme” yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Paham ini menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Pandangan konstruktivisme justeru menganggap subjek sebagai faktor utama dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Analisis wacana di sini adalah untuk menyingkap sesuatu yang tersembunyi di balik pernyataan subjek yang mengasaskan pernyataan itu. Dengan perkataan lain, setiap pernyataan pada dasarnya adalah penciptaan makna iaitu tindakan penubuhan diri atau pengungkapan jati diri daripada sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut sebagai “pandangan kritis”. Paham ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivis yang kurang sensitif kepada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Pandangan konstruktivis belum memiliki keupayaan guna menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana. Hal inilah yang melahirkan pandangan paradigma kritikal. Analisis wacana kritikal menekankan kepada konstelasi kekuatan yang berlaku dalam proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa bukanlah sebagai medium yang neutral yang berada di luar diri si pembicara. Dengan pandangan semacam itu, wacana kritikal melihat bahasa selalu terbabit dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam penubuhan subjek, tindakan, dan representasi tindakan sosial dalam masyarakat.
Mengikut Fairclough dan Wodak (1997), analisis wacana kritikal melihat wacana –pemakaian bahasa sama ada dalam percakapan atau tulisan—merupakan bentuk daripada praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial sentiasa memiliki implikasi hubungan dialektikal di antara peristiwa diskursif dengan suatu situasi, institusi, dan struktur sosial. Mengutip kembali Fairclogh dan Wodak, bahawa analisis wacana kritikal menyelidiki bagaimana melalui bahasa memperlihatkan sebuah fenomena kelompok sosial saling bertembung dan mengajukan versinya masing-masing.
COMMENTS